Medication error adalah suatu kesalahan dalam proses pengobatan yang masih berada dalam pengawasan dan tanggung jawab profesi kesehatan, pasien atau konsumen, dan seharusnya dapat dicegah (Cohen, 1991). Dalam Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 disebutkan bahwa pengertian medication error adalah kejadian yang merugikan 89 pasien, akibat pemakaian obat selama dalam penanganan tenaga kesehatan, yang sebetulnya dapat dicegah. Kejadian medication error dibagi dalam 4 fase, yaitu fase prescribing, fase transcribing, fase dispensing dan fase administration oleh pasien.
Medication error pada fase prescribing adalah error yang terjadi pada fase penulisan resep. Fase ini meliputi: obat yang diresepkan tidak tepat indikasi, tidak tepat pasien atau kontraindikasi, tidak tepat obat atau ada obat yang tidak ada indikasinya, tidak tepat dosis dan aturan pakai. Pada fase transcribing, error terjadi pada saat pembacaan resep untuk proses dispensing, antara lain salah membaca resep karena tulisan yang tidak jelas, misalnya Losec® (omeprazole) dibaca Lasix® (furosemide), aturan pakai 2 kali sehari 1 tablet terbaca 3 kali sehari 1 tablet. Salah dalam menterjemahkan order pembuatan resep dan signature juga dapat terjadi pada fase ini. Error pada fase dispensing terjadi pada saat penyiapan hingga penyerahan resep oleh petugas apotek. Salah satu kemungkinan terjadinya error adalah salah dalam mengambil obat dari rak penyimpanan karena kemasan atau nama obat yang mirip atau dapat pula terjadi karena berdekatan letaknya. Selain itu, salah dalam menghitung jumlah tablet yang akan diracik, ataupun salah dalam pemberian informasi. Sedangkan error pada fase administration adalah error yang terjadi pada proses penggunaan obat. Fase ini dapat melibatkan petugas apotek dan pasien atau keluarganya. Error yang terjadi misalnya pasien salah menggunakan supositoria yang seharusnya melalui dubur tapi dimakan dengan bubur, salah waktu minum obatnya seharusnya 1 jam sebelum makan tetapi diminum bersama makan.
Menurut JAMA, kesalahan pengobatan dapat terjadi dalam proses prescribing (39%), transcribing (12%), dispensing (11%) dan administering (38%).
- Prescribing
- Kesalahan dalam proses prescribing merupakan kesalahan yang terjadi dalam penulisan resep obat oleh dokter. Misalnya, obat yang diresepkan dosisnya tidak tepat (terlalu besar atau terlalu kecil) untuk pasien. Bila dosisnya terlalu besar bagi pasien, maka dapat menyebabkan efek toksik (keracunan) yang bahkan sampai bisa menyebabkan kematian dan bila dosisnya terlalu kecil, maka efek terapi (penyembuhan) dari obat tersebut tidak tercapai. Contoh lainnya misalnya, tidak jelasnya tulisan dalam resep, keliru dalam menuliskan nama obat atau tidak jelasnya instruksi yang diberikan dalam resep.
- Transcribing
- Kesalahan dalam proses transcribing merupakan kesalahan yang terjadi dalam menterjemahkan resep obat di apotek. Misalnya, resep yang keliru dibaca/diterjemahkan sehingga otomatis salah juga obat yang diberikan kepada pasien. Bisa juga karena secara sengaja instruksi yang diberikan dalam resep tidak dikerjakan atau secara tidak sengaja ada instruksi dalam resep yang terlewatkan sehingga tidak dikerjakan.
- Dispensing
- Kesalahan dalam proses dispensing merupakan kesalahan yang terjadi dalam peracikan atau pengambilan obat di apotek. Misalnya, obat salah diambil karena adanya kemiripan nama atau kemiripan kemasan, bisa juga karena salah memberi label obat sehingga aturan pemakaian obat atau cara pemakaian obat menjadi tidak sesuai lagi atau mengambil obat yang sudah kadaluarsa.
- Administration
- Kesalahan dalam proses administering berkaitan dengan hal-hal yang bersifat administrasi pada saat obat diberikan atau diserahkan kepada pasien. Misalnya, karena keliru dalam membaca nama pasien atau tidak teliti dalam memeriksa identitas pasien maka obat yang diberikan/diserahkan juga menjadi salah. Bisa juga karena salah dalam menuliskan instruksi pemakaian obat kepada pasien atau salah memberi penjelasan secara lisan kepada pasien sehingga pasien pun akhirnya salah dalam menggunakan obat tersebut.
Menurut Cohen (1991) dari fase-fase medication error di atas, dapat dikemukakan bahwa faktor penyebabnya dapat berupa:
- Komunikasi yang buruk, baik secara tertulis (dalam resep) maupun secara lisan (antar pasien, dokter dan apoteker).
- Sistem distribusi obat yang kurang mendukung (sistem komputerisasi, sistem penyimpanan obat, dan lain sebagainya).
- Sumber daya manusia (kurang pengetahuan, pekerjaan yang berlebihan).
- Edukasi kepada pasien kurang.
- Peran pasien dan keluarganya kurang.
Medication Error yang terjadi pada fase apapun tentu merugikan pasien dan dapat menyebabkan kegagalan terapi, bahkan dapat timbul efek obat yang tidak diharapkan. Beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh dokter dalam penulisan resep untuk anak-anak, yaitu:
- Mengetahui kebutuhan terapi pasien, alergi obat, potensial interaksi obat.
- Menuliskan berat badan anak.
- Menggunakan nama generik.
- Menghindari penggunaan singkatan nama obat.
- Waspada terhadap peresepan obat yang “look alike” dan “sound alike”, contohnya Celebrex® dan Cerebyx®.
- Menyesuaikan dosis dengan referensi yang terkini.
- Pembulatan dosis dilakukan terhadap angka terdekat.
- Untuk pecahan menggunakan angka nol di depan koma (contoh: ..,5 mg sebaiknya ditulis 0,5 mg ) dan menghindari angka nol dibelakang koma (contoh: 5,0 mg, cukup ditulis 5 mg).
- Memeriksa ulang semua hitungan dan satuannya.
- Menggunakan instruksi dosis yang spesifik, hindari instruksi semacam “prn” atau “ titrate”,
- Menghindari order secara verbal.
Berdasarkan laporan dari USP Medication Error Reporting Program, beberapa hal berikut dapat dilakukan ketika dokter menulis resep untuk mencegah salah interpretasi terhadap penulisan resep (Medication Error), yaitu:
- Mencantumkan identitas dokter yang tercetak dalam kertas resep.
- Menuliskan nama lengkap obat (dianjurkan dalam nama generik), kekuatan, dosis dan bentuk sediaan.
- Nama pasien, umur dan alamat, juga berat badan dan nama orang tua untuk pasien anak.
0 comments:
Post a Comment