Obat tradisional atau yang sering disebut obat herbal adalah obat jadi atau ramuan bahan alam yang berasal dari tumbuhan, hewan, mineral, sediaan galenik atau campuran bahan-bahan tersebut yang secara tradisional telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman. Pada kenyataannya bahan obat alam yang berasal dari tumbuhan porsinya lebih besar dibandingkan yang berasal dari hewan atau mineral, sehingga sebutan obat tradisional (OT) hampir selalu identik dengan tanaman obat (TO) karena sebagian besar OT berasal dari TO. Obat tradisional ini (baik berupa jamu maupun TO) masih banyak digunakan oleh masyarakat, terutama dari kalangan menengah kebawah. Bahkan dari masa ke masa OT mengalami perkembangan yang semakin meningkat, terlebih dengan munculnya isu kembali ke alam (back to nature) serta krisis yang berkepanjangan. Namun demikian dalam perkembangannya sering dijumpai ketidak tepatan penggunaan OT karena kesalahan informasi maupun anggapan keliru terhadap OT dan cara penggunaannya. Dari segi efek samping memang diakui bahwa obat alam/OT memiliki efek samping relatif kecil dibandingkan obat modern, tetapi perlu diperhatikan bila ditinjau dari kepastian bahan aktif dan konsistensinya yang belum dijamin terutama untuk penggunaan secara rutin.
Berdasarkan hal itu, tulisan ini mencoba memaparkan beberapa aspek OT/TO, terkait dengan kelebihan dan kekurangan obat tradisional untuk menambah informasi tentang tanaman obat/obat tradisional.
A. Kelebihan Obat Tradisional
Dibandingkan obat-obat modern, memang OT/TO memiliki beberapa kelebihan, antara lain : efek sampingnya relatif rendah, dalam suatu ramuan dengan komponen berbeda memiliki efek saling mendukung, pada satu tanaman memiliki lebih dari satu efek farmakologi serta lebih sesuai untuk penyakit-penyakit metabolik dan degeneratif.
1). Efek samping OT relatif kecil bila digunakan secara benar dan tepat.
OT/TO akan bermanfaat dan aman jika digunakan dengan tepat, baik takaran, waktu dan cara penggunaan, pemilihan bahan serta penyesuai dengan indikasi tertentu.
- Ketepatan takaran/dosis
Daun seledri (Apium graviolens) telah diteliti dan terbukti mampu menurunkan tekanan darah, tetapi pada penggunaannya harus berhati-hati karena pada dosis berlebih (over dosis) dapat menurunkan tekanan darah secara drastis sehingga jika penderita tidak tahan dapat menyebabkan syok. Oleh karena itu dianjurkan agar jangan mengkonsumsi lebih dari 1 gelas perasan sledri untuk sekali minum. Demikian pula mentimun, takaran yang diperbolehkan tidak lebih dari 2 biji besar untuk sekali makan.
Untuk menghentikan diare memang bisa digunakan gambir, tetapi penggunaan lebih dari 1 ibu jari, bukan sekedar menghentikan diare bahkan akan menimbulkan kesulitan buang air besar selama berhari-hari (kebebelen).
Sebaliknya penggunaan minyak jarak (Oleum recini) untuk urus-urus yang tidak terukur akan menyebabkan iritasi saluran pencernaan. Demikian juga dengan pemakaian keji beling (Strobilantus crispus) untuk batu ginjal melebihi 2 gram serbuk (sekali minum) bisa menimbulkan iritasi saluran kemih.
- Ketepatan waktu penggunaan
Sekitar tahun 1980-an terdapat suatu kasus di salah satu rumah sakit bersalin, beberapa pasien mengalami kesulitan persalinan akibat mengkonsumsi jamu cabe puyang sepanjang masa (termasuk selama masa kehamilan). Setelah dilakukan penelitian, ternyata jamu cabe puyang mempunyai efek menghambat kontraksi otot pada binatang percobaan. Oleh karena itu kesulitan melahirkan pada ibu-ibu yangmengkonsumsi cabe puyang mendekati masa persalinan karena kontraksi otot uterus dihambat terus-menerus sehingga memperkokoh otot tersebut dalam menjaga janin didalamnya. Sebaliknya jamu kunir asem bersifat abortivum sehingga mungkin dapat menyebabkan keguguran bila dikonsumsi pada awal kehamilan. Sehubungan dengan hal itu, seyogyanya bagi wanita hamil minum jamu cabe-puyang di awal kehamilan (antara 1-5 bulan) untuk menghindari resiko keguguran dan minum jamu kunir-asem saat menjelang persalinan untuk mempermudah proses persalinan.
Kasus lain adalah penggunaan jamu sari rapet terus menerus sejak gadis hingga berumah tangga dapat menyebabkan kesulitan memperoleh keturunan bagi wanita yang kurang subur karena ada kemungkinan dapat memperkecil peranakan.
- Ketepatan cara penggunaan
Daun kecubung (Datura metel L.) telah diketahui mengandung alkaloid turunan tropan yang bersifat bronkodilator (dapat memperlebar saluran pernafasan) sehingga digunakan untuk pengobatan penderita asma. Penggunaannya dengan cara dikeringkan lalu digulung dan dibuat rokok serta dihisap (seperti merokok). Akibat kesalahan informasi yang diperoleh atau kesalah fahaman bahwasanya secara umum penggunaan TO secara tradisional adalah direbus lalu diminum air seduhannya; maka jika hal itu diperlakukan terhadap daun kecubung, akan terjadi keracunan karena tingginya kadar alkaloid dalam darah. Orang Jawa menyebutnya ‘mendem kecubung’ dengan salah satu tandanya midriasis, yaitu mata membesar.
- Ketepatan pemilihan bahan secara benar
Berdasarkan pustaka, tanaman lempuyang ada 3 jenis, yaitu lempuyang emprit (Zingiber amaricans L) lempuyang gajah (Zingiber zerumbert L.) dan lempuyang wangi (Zingiber aromaticum L.). Lempuyang emprit dan lempuyang gajah berwarna kuning berasa pahit dan secara empiris digunakan untuk menambah nafsu makan; sedangkan lempuyang wangi berwarna lebih putih (kuning pucat) rasa tidak pahit dan berbau lebih harum, banyak digunakan sebagai komponen jamu pelangsing. Kenyataannya banyak penjual simplisia yang kurang memperhatikan hal tersebut, sehingga kalau ditanya jenisnya hanya mengatakan yang dijual lempuyang tanpa mengetahui apakah lempuyang wangi atau yang lain.
Kerancauan serupa juga sering terjadi antara tanaman ngokilo yang di’anggap sama’ dengan keji beling, daun sambung nyawa dengan daun dewa, bahkan akhir-akhir ini terhadap tanaman kunir putih, dimana 3 jenis tanaman yang berbeda (Curcuma mangga, Curcuma zedoaria dan Kaempferia rotunda) seringkali sama-sama disebut sebagai ‘kunir putih’ yang sempat mencuat kepermukaan karena dinyatakan bisa digunakan untuk pengobatan penyakit kanker.
- Ketepatan pemilihan TO/ramuan OT untuk indikasi tertentu
Kenyataan dilapangan ada beberapa TO yang memiliki khasiat empiris serupa bahkan dinyatakan sama (efek sinergis). Sebaliknya untuk indikasi tertentu diperlukan beberapa jenis TO yang memiliki efek farmakologis saling mendukung satu sama lain (efek komplementer). Walaupun demikian karena sesuatu hal, pada berbagai kasus ditemui penggunaan TO tunggal untuk tujuan pengobatan tertentu. Misalnya seperti yang terjadi sekitar tahun 1985, terdapat banyak pasien di salah satu rumah sakit diJawa Tengah yang sebelumnya mengkonsumsi daun keji beling. Pada pemeriksaan laboratorium dalam urine-nya ditemukan adanya sel-sel darah merah (dalam jumlah) melebihi normal. Hal ini sangat dimungkinkan karena daun keji beling merupakan diuretik kuat sehingga dapat menimbulkan iritasi pada saluran kemih. Akan lebih tepat bagi mereka jika menggunakan daun kumis kucing (Ortosiphon stamineus) yang efek diuretiknya lebih ringan dan dikombinasi dengan daun tempuyung (Sonchus arvensis) yang tidak mempunyai efek diuretik kuat tetapi dapat melarutkan batu ginjal berkalsium.
Penggunaan daun tapak dara (Vinca rosea) untuk mengobati diabetes bukan merupakan pilihan yang tepat, sebab daun tapak dara mengandung alkaloid vinkristin dan vinblastin yang dapat menurunkan jumlah sel darah putih (leukosit). Jika digunakan untuk penderita diabetes yang mempunyai jumlah leukosit normal akan membuat penderita rentan terhadap serangan penyakit karena terjadi penurunan jumlah leukosit yang berguna sebagai pertahanan tubuh.
2). Adanya efek komplementer dan atau sinergisme dalam ramuan obat tradisional/komponen bioaktif tanaman obat.
Dalam suatu ramuan OT umumnya terdiri dari beberapa jenis TO yang memiliki efek saling mendukung satu sama lain untuk mencapai efektivitas pengobatan. Formulasi dan komposisi ramuan tersebut dibuat setepat mungkin agar tidak menimbulkan kontra indikasi, bahkan harus dipilih jenis ramuan yang saling menunjang terhadap suatu efek yang dikehendaki. Sebagai ilustrasi dapat dicontohkan bahwa suatu formulasi terdiri dari komponen utama sebagai unsur pokok dalam tujuan pengobatan, asisten sebagai unsur pendukung atau penunjang, ajudan untuk membantu menguatkan efek serta pesuruh sebagai pelengkap atau penyeimbang dalam formulasi. Setiap unsur bisa terdiri lebih dari 1 jenis TO sehingga komposisi OT lazimnya cukup komplek.
Misalnya suatu formulasi yang ditujukan untuk menurunkan tekanan darah, komponennya terdiri dari : daun sledri (sebagai vasodilator), daun apokat atau akar teki (sebagai diuretika), daun murbei atau besaren (sebagai Ca-antagonis) serta biji pala (sebagai sedatif ringan). Formulasi lain dimaksudkan untuk pelangsing, komponennya terdiri dari : kulit kayu rapet dan daun jati belanda (sebagai pengelat), daun jungrahap (sebagai diuretik), rimpang kunyit dan temu lawak (sebagai stomakik sekaligus bersifat pencahar). Dari formulasi ini walaupun nafsu makan ditingkatkan oleh temu lawak dan kunyit, tetapi penyerapan sari makanan dapat ditahan oleh kulit kayu rapet dan jati belanda. Pengaruh kurangnya defakasi dinetralisir oleh temulawak dan kunyit sebagai pencahar, sehingga terjadi proses pelangsingan sedangkan proses defakasi dan diuresis tetap berjalan sebagaimana biasa.
Terhadap ramuan tersebut seringkali masih diberi bahan-bahan tambahan (untuk memperbaiki warna, aroma dan rasa) dan bahan pengisi (untuk memenuhi jumlah/volume tertentu). Bahan tambahan sering disebut sebagai Coringen, yaitu c.saporis (sebagai penyedap rasa, misalnya menta atau kayu legi), c.odoris (penyedap aroma/bau, misalnya biji kedawung atau buah adas) dan c.coloris (memperbaiki warna agar lebih menarik, misalnya kayu secang, kunyit atau pandan). Untuk bahan pengisi bisa digunakan pulosari atau adas, sekaligus ada ramuan yang disebut ‘adas-pulowaras’ atau ‘adas-pulosari’.
Untuk sediaan yang berbentuk cairan atau larutan, seringkali masih diperlukan zat-zat atau bahan yang berfungsi sebagai Stabilisator dan Solubilizer. Stabilisator adalah bahan yang berfungsi menstabilkan komponen aktif dalam unsur utama, sedangkan solubilizer untuk menambah kelarutan zat aktif. Sebagai contoh, kurkuminoid, yaitu zat aktif dalam kunyit yang bersifat labil (tidak stabil) pada suasana alkalis atau netral, tetapi stabil dalam suasana asam, sehingga muncul ramuan ‘kunir-asem’. Demikian juga dengan etil metoksi sinamat, suatu zat aktif pada kencur yang agak sukar larut dalam air; untuk menambah kelarutan diperlukan adanya ‘suspending agent’ yang berperan sebagai solubilizer yaitu beras, sehingga dibuat ramuan ‘beras-kencur’.
Selain itu beberapa contoh TO yang memiliki efek sejenis (sinergis), misalnya untuk diuretik bisa digunakan daun keji beling, daun kumis kucing, akar teki, daun apokat, rambut jagung dan lain sebagainya. Sedangkan efek komplementer (saling mendukung) beberapa zat aktif dalam satu tanaman, contohnya seperti pada herba timi (Tymus serpyllum atau T.vulgaris) sebagai salah satu ramuan obat batuk. Herba timi diketahui mengandung minyak atsiri (yang antara lain terdiri dari : tymol dan kalvakrol) serta flavon polimetoksi. Tymol dalam timi berfungsi sebagai ekspektoran (mencairkan dahak) dan kalvakrol sebagai anti bakteri penyebab batuk; sedangkan flavon polimetoksi sebagai penekan batuk non narkotik, sehingga pada tanaman tersebut sekurang-kurangnya ada 3 komponen aktif yang saling mendukung sebagai anti tusif. Demikian pula efek diuretik pada daun kumis kucing karena adanya senyawa flavonoid, saponin dan kalium.
3). Pada satu tanaman bisa memiliki lebih dari satu efek farmakologi.
Zat aktif pada tanaman obat umunya dalam bentuk metabolit sekunder, sedangkan satu tanaman bisa menghasilkan beberapa metabolit sekunder; sehingga memungkinkan tanaman tersebut memiliki lebih dari satu efek farmakologi. Efek tersebut adakalanya saling mendukung (seperti pada herba timi dan daun kumis kucing), tetapi ada juga yang seakan-akan saling berlawanan atau kontradiksi (sperti pada akar kelembak). Sebagai contoh misalnya pada rimpang temu lawak (Curcuma xanthoriza) yang disebutkan memiliki beberapa efek farmakologi, antara lain : sebagai anti inflamasi (anti radang), anti hiperlipidemia (penurun lipida darah), cholagogum (merangsang pengeluaran produksi cairan empedu), hepatoprotektor (mencegah peradangan hati) dan juga stomakikum (memacu nafsu makan). Jika diperhatikan setidak-tidaknya ada 2 efek yang kontradiksi, yaitu antara anti hiperlipidemia dan stomakikum. Bagaimana mungkin bisa terjadi pada satu tanaman, terdapat zat aktif yang dapat menurunkan kadar lemak/kolesterol darah sekaligus dapat bersifat memacu nafsu makan. Hal serupa juga terdapat pada tanaman kelembak (Rheum officinale) yang telah diketahui mengandung senyawa antrakinon bersifat non polar dan berfungsi sebagai laksansia (urus-urus/pencahar); tetapi juga mengandung senyawa tanin yang bersifat polar dan berfungsi sebagai astringent/pengelat dan bisa menyebabkan konstipasi untuk menghentikan diare. Lain lagi dengan buah mengkudu (Morinda citrifolia) yang pernah populer karena disebutkan dapat untuk pengobatan berbagai macam penyakit. Kenyataan seperti itu disatu sisi merupakan keunggulan produk obat alam / TO/ OT; tetapi disisi lain merupakan bumerang karena alasan yang tidak rasional untuk bisa diterima dalam pelayanan kesehatan formal. Terlepas dari itu semua, sebenarnya merupakan ‘lahan subur’ bagi para peneliti bahan obat alam untuk berkiprah memunculkan fenomena ilmiah yang bisa diterima dan dipertangungjawabkan kebenaran, keamanan dan manfaatnya.
4). Obat tradisional lebih sesuai untuk penyakit-penyakit metabolik dan degeneratif
Sebagaimana diketahui bahwa pola penyakit di Indonesia (bahkan di dunia) telah mengalami pergeseran dari penyakit infeksi (yang terjadi sekitar tahun 1970 ke bawah) ke penyakit-penyakit metabolik degeneratif (sesudah tahun 1970 hingga sekarang). Hal ini seiring dengan laju perkembangan tingkat ekonomi dan peradaban manusia yang ditandai dengan pesatnya perkembangan ilmu dan teknologi dengan berbagai penemuan baru yang bermanfaat dalam pengobatan dan peningkatan kesejahteraan umat manusia.
Pada periode sebelum tahun 1970-an banyak terjangkit penyakit infeksi yang memerlukan penanggulangan secara cepat dengan mengunakan antibiotika (obat modern). Pada saat itu jika hanya mengunakan OT atau Jamu yang efeknya lambat, tentu kurang bermakna dan pengobatannya tidak efektif. Sebaliknya pada periode berikutnya hinga sekarang sudah cukup banyak ditemukan turunan antibiotika baru yang potensinnya lebih tinggi sehingga mampu membasmi berbagai penyebab penyakit infeksi.
Akan tetapi timbul penyakit baru yang bukan disebabkan oleh jasad renik, melainkan oleh gangguan metabolisme tubuh akibat konsumsi berbagai jenis makanan yang tidak terkendali serta gangguan faal tubuh sejalan dengan proses degenerasi. Penyakit ini dikenal dengan sebutan penyakit metabolik dan degeneratif. Yang termasuk penyakit metabolik antara lain : diabetes (kecing manis), hiperlipidemia (kolesterol tinggi), asam urat, batu ginjal dan hepatitis; sedangkan penyakit degeneratif diantaranya : rematik (radang persendian), asma (sesak nafas), ulser (tukak lambung), haemorrhoid (ambaien/wasir) dan pikun (Lost of memory). Untuk menanggulangi penyakit tersebut diperlukan pemakain obat dalam waktu lama sehinga jika mengunakan obat modern dikawatirkan adanya efek samping yang terakumulasi dan dapat merugikan kesehatan. Oleh karena itu lebih sesuai bila menggunakan obat alam/OT, walaupun penggunaanya dalam waktu lama tetapi efek samping yang ditimbulkan relatif kecil sehingga dianggap lebih aman.
B. Kelemahan Produk Obat Alam / Obat Tradisional
Disamping berbagai keuntungan, bahan obat alam juga memiliki beberapa kelemahan yang juga merupakan kendala dalam pengembangan obat tradisional (termasuk dalam upaya agar bisa diterima pada pelayanan kesehatan formal). Adapun beberapa kelemahan tersebut antara lain : efek farmakologisnya yang lemah, bahan baku belum terstandar dan bersifat higroskopis serta volumines, belum dilakukan uji klinik dan mudah tercemar berbagai jenis mikroorganisme. Menyadari akan hal ini maka pada upaya pengembangan OT ditempuh berbagai cara dengan pendekatan-pendekatan tertentu, sehingga ditemukan bentuk OT yang telah teruji khasiat dan keamanannya, bisa dipertanggung jawabkan secara ilmiah serta memenuhi indikasi medis; yaitu kelompok obat fitoterapi atau fitofarmaka Akan tetapi untuk melaju sampai ke produk fitofarmaka, tentu melalui beberapa tahap (uji farmakologi, toksisitas dan uji klinik) hingga bisa menjawab dan mengatasi berbagai kelemahan tersebut.
Efek farmakologis yang lemah dan lambat karena rendahnya kadar senyawa aktif dalam bahan obat alam serta kompleknya zat balast/senyawa banar yang umum terdapat pada tanaman. Hal ini bisa diupayakan dengan ekstrak terpurifikasi, yaitu suatu hasil ekstraksi selektif yang hanya menyari senyawa-senyawa yang berguna dan membatasi sekecil mungkin zat balast yang ikut tersari. Sedangkan standarisasi yang komplek karena terlalu banyaknya jenis komponen OT serta sebagian besar belum diketahui zat aktif masing-masing komponen secara pasti, jika memungkinkan digunakan produk ekstrak tunggal atau dibatasi jumlah komponennya tidak lebih dari 5 jenis TO. Disamping itu juga perlu diketahui tentang asal-usul bahan, termasuk kelengkapan data pendukung bahan yang digunakan; seperti umur tanaman yang dipanen, waktu panen, kondisi lingkungan tempat tumbuh tanaman (cuaca, jenis tanah, curah hujan, ketinggian tempat dll.) yang dianggap dapat memberikan solusi dalam upaya standarisasi TO dan OT. Demikian juga dengan sifat bahan baku yang higroskopis dan mudah terkontaminasi mikroba, perlu penanganan pascapanen yang benar dan tepat (seperti cara pencucian, pengeringan, sortasi, pengubahan bentuk, pengepakan serta penyimpanan).
0 comments:
Post a Comment