Thursday, August 11, 2011

Book "Laila Majnun"


Browse » Home » » Book "Laila Majnun"

Cinta dapat membutakan akal sehat. Cinta dapat mengubah seseorang yang menjalani kehidupan dengan tenang dan "lurus" menjadi centang perenang. Demikian pula halnya pada diri Qays, yang mabuk kepayang pada seorang gadis seelok rembulan bernama Layla. Gayung bersambut, akan tetapi perilaku Qays yang gandrung tak tanggung-tanggung membuat keluarga Layla memilih menjaga kehormatannya dengan menjauhkan putri mereka. Makin terpukul batin Qays lantaran jantung hatinya direnggut, sehingga polahnya bagai orang bingung tak berkeputusan dan ia lebih dikenal dengan sebutan Majnun (gila).

Kisah cinta klasik buah karya Nizami (juga disebut Nizami Ganjavi) ini sudah tidak asing bagi penggemar sastra, khususnya dari Persia. Di samping telah diterjemahkan dalam berbagai bahasa, Layla Majnun menjadi inspirasi bagi para musisi dan seniman sastra di belahan lain dunia. Sebut saja dramawan Shakespeare dengan Romeo and Juliet-nya yang tragis.

Dalam buku ini, perjalanan Layla dan Majnun dituturkan secara lengkap. Dengan bahasa yang lembut namun bening, Nizami memaparkan bahwa tiada hari tanpa mengingat Layla bagi seorang Majnun. Syair-syair indah muncul dari mulut dan pikirannya, tetapi ia telah terlena. Ayahnya mencoba melipur lara sang putra, namun kembali dengan tangan kosong. Nawfal mengulurkan persahabatan dan berusaha mendapatkan Layla dengan kekerasan, tetapi akhirnya mengerti bahwa Majnun tak pantas dibela mati-matian. Orangtua mana pun tak akan bersedia menyerahkan buah hati mereka kepada seorang lelaki yang tidak waras, sehingga ayah Layla berkata, “...Lebih baik tubuh putriku disantap anjing daripada dipeluk iblis terkutuk berbentuk manusia ini.” (hal. 94).

Novel ini sarat dengan madah di setiap bab, sehingga mungkin meletihkan bagi pembaca yang kurang menyukai uraian puitis. Namun dengan penghayatan penerjemah dan penyunting yang layak diacungi jempol, syair demi syair menjadi elemen penting khususnya untuk menggambarkan kecamuk hati banyak karakter dalam kisah ini. Misalnya ketika Syed Omri membujuk putranya untuk pulang, “..Apa gunanya penderitaan yang tiada berkesudahan ini? Apa manfaatnya bagi dunia? Apakah kau ingin menjadi tanggul sebuah sungai kecil yang tepian-tepiannya terus dikikis oleh banjir? Apakah kau ingin menjadi gunung yang merekah oleh gempa bumi?”

Perumpamaan-perumpamaan yang digunakan dalam novel ini menjadi suplai pembelajaran baru dalam berolah diksi, misalnya "anting-anting jiwaku" dan "Akulah debu yang menempel di kakimu". Nuansa Persia yang dibawa serta Layla Majnun terjaga sangat baik.

Dari segi cerita, bukan keretakan batin Layla dan Majnun itu sendiri yang meruntuhkan airmata saya. Saya berpihak pada Syed Omri, yang terkoyak-koyak sanubarinya lantaran putra kesayangan memilih menggelandang tanpa benang selembar pun di antara para satwa rimba daripada berbakti kepada orangtua. Bahkan ketika ayah tercintanya ini wafat, Majnun hanya bisa menangis. Toh ia bersikeras memprioritaskan asmara kendati Layla telah menjadi istri orang. Sungguh, cinta bisa menjadi teramat egois dan kejam.


Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Related Posts:


Or

Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan klik tombol subscribe di bawah untuk berlangganan gratis, dengan begitu Anda akan mendapat artikel terbaru via email dari www.faikshare.com


0 comments:

Blog Award

 

FaiK Share. Copyright 2008 All Rights Reserved Revolution of FaiK theme by FaiK MuLaCheLLa | Distributed by Blogger Templates Blog Corp