Dampak krisis global terhadap perekonomian Indonesia yang telah diakui
secara resmi oleh Pemerintah adalah meningkatnya rencana defisit APBN
2009 secara cukup dramatis, dari Rp51,3 triliun menjadi Rp139,5 trliun.
Posisi utang pemerintah dipastikan akan meningkat, karena sebagian besar
sumber pembiayaan adalah dari utang. Padahal, stok utang Pemerintah jika dilihat
dalam denominasi rupiah sudah bertambah amat signifikan selama tahun 2008,
terutama karena depresiasi rupiah. Dari Rp1.387 trilun pada akhir 2007 menjadi
Rp1.623 triliun pada akhir 2008.
Fakta mutakhir ini berbeda dengan semangat pidato kenegaraan Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono dalam mengantarkan Nota Keuangan dan RAPBN 2009 pada
tanggal 15 Agustus 2008, yang masih mengatakan : ”Dengan demikian, suatu saat
nanti kita dapat bangga menyampaikan pada generasi penerus, anak cucu kita,
bahwa kita mewariskan Negara dengan kekayaan yang makin meningkat,
kemakmuran yang merata, dan utang yang makin kecil atau bahkan tidak ada.”
Pada bagian lain pidato dikatakan : ” Dengan kebutuhan pembiayaan, baik yang
berasal dari dalam negeri maupun pembiayaan luar negeri sebagaimana saya
kemukakan tadi, maka rasio utang pemerintah terhadap PDB dalam tahun 2009
diperkirakan akan menurun dari sekitar 54 persen pada tahun 2004, menjadi
sekitar 30 persen. Tingkat rasio utang ini, membuktikan tekad yang kita canangkan
bahwa Indonesia harus bisa dibangun dengan semaksimal mungkin menggunakan
sumber daya kita sendiri.”
Presiden kemudian mengutip angka RAPBN yang bersifat teknis, yaitu: “Defisit
anggaran sebesar Rp 99,6 triliun (1,9 persen PDB) dalam RAPBN tahun 2009,
direncanakan dibiayai dari sumber‐sumber pembiayaan dalam negeri sekitar Rp
110,7 triliun, dan pembiayaan luar negeri neto minus Rp 11,1 triliun. Dengan
demikian pembayaran cicilan pokok utang luar negeri yang kita lakukan, lebih
besar dari pada jumlah utang luar negeri baru. Hal ini sesuai dengan tujuan untuk
terus mengurangi porsi utang luar negeri dalam pembiayaan defisit kita.”
Hanya dalam dua bulan, sikap Pemerintah tersebut ingin direvisi. Usulan
perubahan Anggaran pada 13 oktober 2008 lalu mengajukan pembiayaan luar
negeri (neto) sebesar positif Rp 9,2 triliun. Usul Pembiayaan luar negeri dengan
angka positif, yang berarti penarikan lebih besar dari pembayaran cicilan pokok,
adalah untuk pertamakalinya dalam beberapa tahun terakhir. Namun, setelah
melalui pembahasan alot di DPR dan perhitungan ulang atas berbagai item
pembiayaan, APBN yang ditetapkan masih mencantumkan pembiayaan luar negeri
(neto) negatif.
Usulan Pemerintah melalui dokumen perubahan pada Februari 2009 kembali
membuka peluang pembiayaan luar negeri (neto) yang positif. Caranya lebih halus
dan diplomatis, yakni dengan mencantumkan pos ’tambahan utang’ sebesar
Rp44,5 triliun. Pemerintah mengakui kemungkinan tidak optimalnya pasar
keuangan melalui penerbitan surat berharga negara (SBN) sebagai sumber dana.
Sehingga dikatakan secara terus terang bahwa : ”Untuk mengantisipasi hal
tersebut, Pemerintah telah melakukan pembicaraan secara intensif dengan kreditur konvensional dari lembaga multilateral dan/atau negara‐negara pemberi
pinjaman bilateral untuk memberikan dukungan (back up) berupa pemberian
pinjaman siaga dalam hal penerbitan SBN tidak dapat dilakukan secara optimal.”
Lalu bagaimana perkembangan utang Pemerintah dan bagaimana pengaruhnya bagi ekonomi Indonesia?? Simak dalam buku "Ancaman Utang Pemerintah" ini hasil analisis dari Awalil Rizky dan Nasyith Majidi.
0 comments:
Post a Comment